AI sebagai Alat Bukan Pengganti Inovasi Manusia
Kehadiran teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), sejatinya merupakan alat untuk mengoptimalkan aktivitas dan pekerjaan manusia. Namun demikian, teknologi ini tidak boleh menumpulkan potensi kreativitas dan inovasi manusia.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, dalam pernyataannya yang menekankan bahwa pengembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk terus tumbuh dan berkembang.
“AI harus membuat pelayanan publik lebih dekat, kebijakan lebih responsif, serta membuka lebih banyak pintu bagi masyarakat untuk berkembang,” ujar Meutya dalam sebuah acara di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa (3/6).
Pengembangan AI Berbasis Nilai dan Budaya Bangsa
Meutya menekankan bahwa pengembangan AI di Indonesia harus berorientasi pada pengalaman manusia, bukan sekadar meniru teknologi dari luar negeri. Ia mencontohkan pemanfaatan Large Language Models (LLMs) berbasis open-source yang dirancang khusus untuk Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dengan kapasitas model sebesar 70 miliar parameter. Platform ini juga dilengkapi layanan chat AI multibahasa yang dikembangkan oleh GoTo dan Indosat.
Meskipun berasal dari sektor swasta, Meutya melihat peluncuran LLMs ini sebagai momentum strategis untuk menyampaikan arah kebijakan digital nasional yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila dan semangat gotong royong.
“Semangat open-source sangat relevan dengan budaya gotong royong. Keunggulan bukan ditentukan oleh siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling peduli,” tambahnya.
Pentingnya AI yang Inklusif, Etis, dan Berkelanjutan
Dalam konteks digitalisasi nasional, Meutya menggarisbawahi bahwa AI yang kuat harus dibangun berdasarkan nilai, akses, dan kolaborasi. AI di Indonesia tidak hanya harus mampu menjawab tantangan teknologi global, tetapi juga mencerminkan karakter dan jati diri bangsa.
Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Digital tengah menyusun Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional yang ditargetkan rampung pada Juni 2025. Peta jalan ini akan menjadi pedoman utama dalam membangun AI nasional yang inklusif, berbasis etika, dan berorientasi pada kebutuhan rakyat.
“Investasi global di bidang AI generatif melonjak tajam, dari 4 miliar dolar AS pada 2021 menjadi 25 miliar dolar AS pada 2025. Indonesia tidak ingin hanya menjadi pengguna, tapi juga pencipta dan pengarah AI yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” tegas Meutya.
Kesimpulan: AI untuk Rakyat, Bukan Sekadar Tren Teknologi
Perkembangan AI harus menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi pemain aktif, bukan sekadar penonton. Dengan membangun teknologi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, kolaborasi, dan keterbukaan, Indonesia bisa menciptakan AI yang inklusif dan berdaya guna bagi semua lapisan masyarakat.