Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan ekosistem sains dan teknologi (saintek). Apa saja penyebabnya? Simak penjelasan lengkap berikut ini.
Dominasi Jurusan Keguruan di Perguruan Tinggi Jadi Salah Satu Faktor
Direktur Jenderal Sains dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Ahmad Najib Burhani, mengungkapkan bahwa rendahnya ekosistem saintek di Indonesia salah satunya disebabkan oleh dominasi jurusan keguruan di perguruan tinggi.
Menurut Najib, kondisi ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa di bidang sains dan teknologi, jumlahnya sangat timpang. Hal ini memengaruhi output lulusan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di bidang saintek.
“Skor PISA kita rendah dibandingkan negara lain. Ini mencerminkan lemahnya kualitas pendidikan saintek kita,” jelas Najib dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (27/5).
Kurangnya SDM Berkualitas di Sektor Industri
Faktor lain yang menjadi penyebab lemahnya ekosistem saintek adalah minimnya SDM berkualitas di sektor industri. Banyak industri tidak memiliki tenaga ahli yang sesuai saat memulai usaha.
Bahkan, ketika sudah ditemukan talenta yang tepat, banyak dari mereka justru direkrut oleh perusahaan asing, karena tawaran fasilitas dan gaji yang lebih menarik.
“Ekosistem kita kekurangan talenta yang berkaitan langsung dengan sains dan teknologi,” tegas Najib.
Rendahnya Minat Pelajar Terhadap Bidang Saintek
Salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan ekosistem saintek di Indonesia adalah minimnya minat pelajar untuk mendalami bidang sains dan teknologi.
Ketidaktertarikan ini menyebabkan jurusan saintek di perguruan tinggi tidak berkembang optimal, dan menciptakan ketidakseimbangan antara kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja terampil.
Lemahnya Peran Asosiasi Keilmuan di Indonesia
Mantan Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) BRIN, Najib Burhani, juga menyoroti peran asosiasi keilmuan di Indonesia yang tidak aktif seperti di negara-negara lain.
Jika di luar negeri asosiasi keilmuan secara rutin menggelar konferensi tahunan atau dua tahunan, di Indonesia, kegiatan seperti ini minim dilakukan. Bahkan, menurut Najib, asosiasi keilmuan cenderung terjebak dalam urusan politik, bukan pengembangan ilmu.
“Asosiasi keilmuan di kita tidak sepenuhnya aktif maupun mati, tapi tidak bisa mendorong perkembangan keilmuan secara maksimal,” katanya.
Langkah Pemerintah: Dorong Budaya Cinta Ilmu Melalui STEM Center
Untuk membangun budaya masyarakat yang mencintai ilmu pengetahuan, Kemdiktisaintek mulai mengambil inisiatif dengan mendirikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) Center di berbagai kampus dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
STEM Center ini akan dibuka untuk publik, dengan tujuan menjadikan kampus dan perpustakaan sebagai tempat hiburan alternatif yang edukatif, menggantikan dominasi pusat perbelanjaan.
“Kita ingin masyarakat mencari hiburan bukan hanya di mal, tetapi juga di perpustakaan dan kampus,” ujar Najib.
Respons Pemerintah terhadap Masalah Mahasiswa Indonesia di Harvard
Dalam perkembangan terkait dunia pendidikan internasional, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto menyatakan kesiapan pemerintah untuk membantu mahasiswa Indonesia yang terdampak kebijakan imigrasi Amerika Serikat.
Pemerintah AS, di bawah Presiden Donald Trump, mencabut sertifikasi Universitas Harvard dari Student and Exchange Visitor Program (SEVP). Kebijakan ini melarang Harvard menerima mahasiswa asing baru dan mewajibkan mahasiswa lama pindah kampus untuk mempertahankan status legal mereka.
“Kalau ada masalah, tentu kita akan bantu,” kata Brian di Jakarta.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menunggu laporan dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan di AS untuk menentukan langkah selanjutnya.
Harvard: Kebijakan Pemerintah AS Dinilai Berbahaya
Universitas Harvard sendiri mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam kebijakan pemerintah AS tersebut. Pihak universitas menyebut keputusan ini sebagai langkah yang melanggar hukum dan membahayakan keberagaman kampus.
Selain itu, pemerintah AS juga membekukan dana hibah federal sebesar USD 2,2 miliar (setara Rp35 triliun lebih), setelah Harvard menolak menghapus program kesetaraan, inklusi, dan keberagaman.
Data terbaru menyebutkan bahwa lebih dari 27% mahasiswa Harvard pada semester musim gugur 2023 adalah mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia.
Kesimpulan
Lemahnya ekosistem sains dan teknologi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari dominasi jurusan non-saintek, minimnya SDM di sektor industri, hingga peran asosiasi keilmuan yang tidak aktif. Namun, langkah-langkah strategis seperti pendirian STEM Center serta perhatian terhadap isu pendidikan global menunjukkan bahwa pemerintah mulai mengambil langkah konkret.