Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan empat operator telekomunikasi besar di Indonesia: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Axiata Tbk. Kerja sama ini bertujuan untuk mendukung penegakan hukum di Indonesia.
MoU ini berfokus pada pertukaran data dan pemanfaatan informasi untuk kebutuhan penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan.
Kekhawatiran Publik tentang Privasi Data
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat terkait privasi dan keamanan data pribadi mereka. Namun, pengamat telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosep, menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu terlalu khawatir.
Menurut Ian, kerja sama antara Kejagung dan operator telekomunikasi sebenarnya sudah terjalin sejak lama. Penyadapan hanya dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, demi kepentingan penyidikan, dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Kebebasan Berpendapat dan Batasan Penyadapan
Ian juga menambahkan bahwa kerja sama ini tidak akan menghalangi kebebasan masyarakat untuk berbagi pandangan politik. Ia menjelaskan bahwa masalah politik dan masalah hukum yang ditangani Kejagung sangat berbeda.
“Penandatanganan ini hanya pembaruan kerja sama. Tidak perlu khawatir, karena beda kasus (dengan masalah politik). Kecuali kalau memang orang tersebut menyebarkan berita hoaks, atau melanggar UU ITE,” kata Ian.
Meskipun demikian, Ian berharap tidak ada pihak yang menyalahgunakan kerja sama ini untuk kepentingan pribadi atau penyalahgunaan kekuasaan. Ia menekankan bahwa praktik penyadapan untuk kebutuhan hukum juga dilakukan di negara-negara lain.
“Jadi Kejagung tidak bisa asal sadap, karena melanggar privasi pengguna, apalagi sekarang sudah ada UU PDP,” tegas Ian, merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru. Hal ini menegaskan bahwa setiap tindakan penyadapan harus mematuhi koridor hukum dan menjaga hak privasi pengguna.